Cerpen Kartika Catur Pelita (Bangka Pos, 15 Desember 2019)

Suara derum motor meraung di pelataran rumah. Dari balik tirai jendela kaca, seorang lelaki separuh baya mengintip. Sesaat ia buru-buru membukakan pintu pagar. Selamat datang calon menantu, pengendara sepeda motor gede, pemuda gagah berhelm merah menyala.
Ia lelaki separuh baya menyilakan si lelaki muda duduk. Setelah itu memasuki rumah, buruan menjumpai anak perawannya. “Neng, ada yang mau ketemu, atuh.”
***
Pada ruang tamu perempuan tua berpapasan dengan si lelaki separuh baya. ”Cowok kasep itu datang lagi, Abah?”
“Iya, pacarnya si Neneng.”
“Pacar?”
“Apa namanya? Kalau sudah berhari berturut datang, mengapeli si Neneng.”
“Tapi si Mamat….”
“Si Mamat mah enggak ada apa-apa dibanding di kasep. Eh, namanya si Irfan. Ia kasep, motornya gede, gagah, kaya pula. Cocok ama si Neneng.”
“Abah setuju?”
“Iya atuh, saya setuju si Neneng hubungan sama si kasep, bukan si Mamat.”
***
Pemuda 21 tahun, berbadan kurus berkulit bersih. Namanya Mamat, menyenderkan sepeda di pagar. Si lelaki separuh baya mengintip dari balik tirai. Menghela napas panjang. Si lelaki lugu membuka pagar, mengetuk pintu. Si lelaki tua bermalas-malas membuka pintu rumah.
“Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Saya ingin bertemu si Neneng, Abah.”
“Aduh, si Neneng dengan keluar. Mending kamu pulang saja, dan…”
“Tapi saya sudah janji sama si Neneng. Saya barusan pulang dari Brebes, bawain oleh-oleh.”
“Bawain apa?”
“Cabai dan telur asin.”
“Terimakasih. Abah terima oleh-olehnya. Tapi lebih baik kau pulang. Abah sedang kumat encok. Si Neneng juga pulangnya nanti malam. Masih lama. Kalau kamu nungguin capek, kasihan kamu.”
“Baiklah. Kalau gitu saya permisi, Abah.”
Si Mamat dan sepedanya keluar pagar saat bersamaan derum motor terdengar. Si kasep datang beriringan dengan seorang perempuan geulis, berdagu belah, berkulit kuning bersih. Neneng terlihat kikuk melihat ke arah Mamat. Mamat pun merasa panas dada. Mengapa Abah si Neneng mengelabuhinya?
“Ambu, ada tamu!” si lelaki tua berteriak, cuek tanpa merasa bersalah.
“Siapa, Abah?” tanya si perempuan separuh baya, gegas tergopoh mendekat. Saat melihat si Mamat, ia tersenyum kikuk. Kala melihat si kasep, ia menggangguk semringah
“Dia calonnya si Neneng,” bisik Abah pada Ambu, melirik si Mamat
“Calonnya si Neneng?” si Mamat merasa seperti sudah jatuh tertimpa batu bata.
***
Cincin emas lima gram dielus. Cincin emas berkilauan pas dipakai di jari manis. Indah. Padahal baru dua bulan mereka berkenalan, tapi si kasep kerap memberi barang berharga. Cincin, kalung, baju, parfum. Beda dengan si Mamat, yang paling banter memberikan novel saat si Neneng ulangtahun.
“Cincinnya sangat indah, Neng,” puji Ambu
“Hadiah dari si kasep, Ambu,” si Neneng bahagia menatap benda berkilauan
“Pasti harganya mahal.”
“Tentu saja.”
“Si kasep jadian sama kamu?”
“Ia bilang mau jadiin Eneng istri.”
“Alhamdulillah, Ambu dan Abah bakal punya menantu kaya.”
Maka malam itu di teras si Neneng menguarkan suara hatinya. “Ambu, apakah salah kalau Neneng memilih si kasep daripada si Mamat. Emang sih Neneng lebih dulu mengenal Mamat, tapi si kasep lebih kaya. Tapi Mamat juga orangnya baik, tapi Mamat tak bisa beliin Neneng barang-barang mahal.”
“Kalau Ambu terserah atuh ama Neneng yang menjalani.”
“Bagaimana kalau Abah, Mak?’
“Abah sih pengen punya menantu kaya. Abah tak keberatan kamu behubungan ama si kasep.”
“Kalau begitu Neneng tak bersalah pada Mamat. “
“Mengapa atuh sih mikirin si Mamat mulu?”
“Neneng ngerasa udah PHP-in si Mamat.”
“Apa itu… PHP?”
“Pemberi Harapan Palsu, Ambu. Mungkin si Mamat mengira kalau Neneng suka padanya. Padahal…”
Neneng tiba-tiba teringat peristiwa tempo hari, saat si Mamat datang dan melihat Neneng diantar pulang oleh si Irfan. Betapa si Mamat terlihat sedih dan kecewa. Teman masa SMP itu mengungkapkannya saat keesokan harinya menemui Neneng. Mencegatnya saat ia disuruh Ambu ke warung Teh Esih. Mamat memandangnya sedih dan meminta waktu pada Neneng untuk bicara dari hati ke hati.
“Neng, boleh akang Mat bicara?”
“Tentang apa…?” Neneng menebak, meski sejujurnya ia sudah bisa menduga, ke arah mana Mamat ingin menyuarakan sesuatu.
“Neneng, akang…”
“Silakan bicara, atuh Kang.”
“Siapa cowok yang bersama Neng kemarin?”
“Namanya Irfan Suherman. Ia teman…”
“Teman atau teman?” suara Mamat terasa memendam luka.
“Benarkah yang dikatakan Abah….kalau cowok itu calon Neneng?”
Neneng memilih tak menjawab saat itu. Bukan waktu yang tepat saat si Mamat terbawa emosi. Malah yang terjadi nanti kesalahpahaman. Neneng mengatur suasana hati. Ingin merangkai kata yang bisa menyuarakan perasaan kegalauan hatinya. Meski pada nyatanya sesat ia malah tergugu. Tiada sepatah kata keluar dari mulut mungilnya.
“Sebenarnya selama ini bagaimana perasaan Neneng pada akang Mat. Katanya Neneng suka. Katanya Neneng cinta.” Justru cowok itu yang menembangkan hati lara. Siapa sih tiada luka ketika melihat orang yang dicinta berjalan berdua dengan orang liyan. Cowok yang lebih segalanya dari dirinya. Lebih gagah, ganteng, dan lebih kaya. Ah, sakit, sakit, sakit, aduh.
“Tapi kang Mat…”
“Tapi…ternyata waktu dan orang lain bisa mengubah perasaanmu pada akang Mat. Padahal cinta kang Mat hanya padamu. Sayang akang Mat hanya untuk Neneng seorang.”
“Kang Mat, maafkan…”
“Sepertinya kang Mat mesti tahu diri. Siapa kang Mat, tiada berharta, miskin, dan..” Pengakuan yang jujur, meski berselubung kekecewaan, kelelukaan, namun apa hendak dikata, betapa rasa bersalah menggulma. Neneng memilih meninggalkan sosok bujang sederhana. Saking tergesanya telur yang dibelinya di warung terjatuh. Berhamburan. Pecah. Seperti hati Mamat remuk lebur.
Entah Neneng tiba-tiba merasakan pelupuk matanya menghangat. Neneng menghela napas panjang. Sungguh ia tak ingin menagis. Ambu memandangnya penuh kemengertian perasaan Neneng.
“Sudah, Eneng. Siapa pun pilihanmu Ambu merestui, asalkan kau bahagia.”
***
Ambu dan Neneng sedang belanja di Pasar Gede. Lusa hendak bikin kenduri menyambut keluarga besar si kasep yang akan melamar Neneng. Belanjaan sudah ditenteng, sudah memenuhi angkot, ketika kendaraan yang membawanya macet. Angkot hijau melaju pelan seperti laju keong, jalan lamat-lamat.
“Apa apa, Pir?” seorang ibu gemuk berjilbab menguntai tanya, tak sabar. Ia pedagang yang kulakan makanan dan sudah ditunggu pelanggan di warungnya.
“Ada maling ketangkap dan dimassa,” lapor si polisi cepek, ketika sopir mencari tahu penyebab jalanan mampat.
“Siang kerontang gini maling. Maling apaan?” dumel si sopir-lelaki berkumis tipis, berkulit gelap, seraya mengusap keringat dengan handuk kumal.
“Biasa, curanmor, Bang,” jawab si polisi cepek, enteng. Ia mulai mengatur jalanan supaya tak semrawut.
Dari balik jendela angkot, Ambu dan si Neneng melihat aksi massa yang tengah menghajar pencuri motor. Angkot mendekat. Ambu dan si Neneng tersekesiap, terjingkat ia merasa mengenal sosok yang bonyok dihajar masa. Benarkah itu si kasep? Si cowok tampan yang santun, gagah yang saban datang menghujani hadiah, suka berganti-ganti motor dan helm? ***
Kota Ukir, 09 April 2017-11 Desember 2019
Sukses ya mas
LikeLike