Cerpen Harris Effendi Thahar (Kompas, 30 Juni 2019)

Malam kedelapan tidak ada lagi rombongan takziah datang ke rumah, menyampaikan rasa ikut berduka serta ikut menyumbang doa untuk almarhum bapak yang baru saja pergi meninggalkan dunia fana dalam usianya kedelapan puluh. Suasana senja di rumah besar itu menjelang makan malam terasa makin sendu, terutama bagi ibu yang kehilangan bapak ketika usianya tujuh puluh lima. Senja masih menyisakan warna jingga di langit barat kota.
Aina, anak ketiga yang bungsu sibuk menyuap makanan ke mulut putra kecilnya yang baru berusia empat tahun. Ari, suami Aina sudah kembali beserta dua orang anaknya ke kota Bandung setelah bapak dua hari dimakamkan. Hanum, anak tengah yang sekarang tinggal sendiri di rumah itu menemani ibunya tidur di kamar. Suaminya Basar dan putra tunggalnya Jo cepat kembali ke kota Medan karena Jo mau ujian akhir SMA.
Sementara Arwan yang biasa dipanggil Om Kumis oleh para kemenakannya masih tinggal bersama istrinya Sari. Kedua anak Arwan tidak dapat menghadiri pemakaman opa mereka karena tidak bisa meninggalkan kuliah mereka di Jakarta. Hanya Arwan dan istrinyalah yang buru-buru datang berdua dengan Sari ketika WA Aina dan Hanum yang mengabarkan meninggalnya bapak subuh itu.
***
“Kalau ibu sakit, siapa yang mengantar ibu ke dokter? Harus telepon dulu mantan sopir bapak itu? Siapa namanya? Amir?”
“Ya, Amir biasanya patuh, bila bapak yang panggil. Ia sekarang sudah pensiun juga.”
“Nah, sekarang bapak tidak ada lagi. Apa dia mau mengantar ibu ke dokter dengan mobil tua bapak itu?” tanya Hanum sambil tiduran dekat ibu di atas karpet merah yang terbentang di ruang tengah rumah itu.
“Maksud kamu itu apa? Ibu sehat-sehat saja kok,” tanya ibu.
“Maksud saya, sebaiknya ibu sekarang tinggal bersama kami di kota Medan. Rumah ini biar kita sewa kontrakkan saja. Mobil butut kijang super bapak kita jual sebagai mobil antik. Begitu, ibu.”
“Enak saja kau. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini sampai aku menyusul bapakmu. Titik.”
Di perjalanan KRL hari Minggu lalu, saya baca versi digital cerpen ini. Dan langsung “kutukan cerpen jelek dari penulis senior”.
Kalau kamu baca buku “Si Padang” kamu akan melihat pola yang sama cerpen ini dengan cerpen di sana. Saya sebagai penyuka kumcer itu dan kumcer “Anjing Bagus”, merasa cerpen ini benar-benar kutukan cerpen jelek dari cerpenis senior. #MAaf
LikeLike
Penasaran dengan buku Si Padang yang Mbak sebut. Bisa baca lewat online ga, Mbak?
LikeLike
Kak @cherryelf buku itu sudah lama sekali. Saya nemu juga beberapa tahun silam di toko buku bekas. Kurang tahu apakah buku itu tersedia di Gramedia Digital atau iPerpusnas, atau tidak. Tapi saya rasa perpustakaan besar macam perpusnas dan perpusda pasti akan punya koleksi seri cerpenis Kompas, salah satunya adalah “Si Padang” atau “Anjing Bagus” ini.
Dua-duanya menurutku bagus. Tetapi, cerpen ini hanya pengulangan tema dari cerpen-cerpen lawas penulis.
LikeLike