Cerpen Alex R Nainggolan (Jawa Pos, 30 Juni 2019)

Ia akan berusaha memahami karakter orang lewat wajahnya. Meski, terkadang pula disadarinya wajah bisa menipu.
TELAH datang di kota ini seorang lelaki yang menggenggam belati. Sementara, angin masih saja mendayu. Segar dan dingin, menyegarkan semua yang tersentuh. Dan, lelaki itu baru saja tiba dengan menumpang kereta malam. Masih pula ia rasakan semilir angin yang menggerus badannya sampai dingin. Sementara, pagi telah berjingkat, menari-nari bersama liukan cahaya matahari. Di kota ini, ya, mencari siapakah dia di sini? Adakah kenalan lama?
Namun, di matanya begitu jelas terpancar kemilau cahaya penuh dengan dendam. Dendam yang lama membara, berkobar-kobar, di dadanya. Kini ia seakan langkahkan kaki dengan mantap. Menerjang belantara kota, mobil-mobil yang memadat. Menyeret tubuhnya dengan kaki yang lunglai di bahu jalan, sambil menggenggam belati. Terkadang, belati itu berkilauan diterpa cahaya, mengilap, seperti siap menebas leher siapa saja. Barangkali, peristiwa ini akan menjadi berita besar, yang dipublikasikan koran-koran daerah. Yang jelas, kerjaan polisi akan pula bertambah banyak. Tetapi, itu baru kemungkinan pertama. Dan keadaan ini akan diperburuk apabila ia benar-benar melakoni dendamnya itu. Tampak pula, pakaiannya lusuh dan berdebu. Sepertinya, ia memang sudah tak berganti baju berbulan-bulan. Segaris warna cokelat yang terlihat begitu pudar, sudah lama melekat di situ.
Hari bergegas cepat, menukik begitu panik. Detik-detik jam sekuat lalat terbang, merayapi langit yang mulai kelabu. Siang atau malam, apakah pernah ada bedanya?
Sejenak, ia menahan napas. Memandang kota yang selalu ramai, lalu-lalang kendaraan bagai ilalang. Semrawut. Sumpek, berdatangan tiada henti. Singgah dari suatu tempat ke tempat lain. Membawa orang-orang baru yang tak pernah dikenal sebelumnya. Ia akan berusaha memahami karakter orang lewat wajahnya. Meski, terkadang pula disadarinya wajah bisa menipu. Dengan segera kita menilai orang dari wajahnya saja, tidakkah hal-hal begitu itu tidak adil?
***
Karena penulisnya juga seorang penyair, banyak kata yang seolah dicuplik dari puisi. Bagus juga kok.
Tapi justru karena ditulis in memoriam Hamsad Rangkuti, dan judul ini memang mirip dengan punya alm, yakni “Sukri Membawa Belati”. Justru dengan itu saya berpikir penulis akan sedikit meniru keliaran teknik dalam cerpen Hamsad Rangkuti, sayangnya tidak.
Tapi Okelah. Intinya balas dendam. Keeekeee ^^
LikeLike
Penyair menulis cerpen akan terasa pada gaya bahasa. Unggul di estetika meski temanya simple. Keren.
LikeLike