Cerpen Kartika Catur Pelita (Bangka Pos, 21 April 2019)

Pertengkaran kecil seperti percikan api. Jika berulang-ulang dipicu, percikan api bisa membakar. Tak hanya rumput kering, perkawinan pun bisa terbakar karena pertikaian yang tak berujungpangkal!
“Perpisahan mungkin jalan terbaik untuk kita,” gumam Damara
“Kita bercerai, maksudmu?!” jerit Mai
“Kupikir dengan perceraian mungkin membuat kita tak saling menyakiti.”
“Kau yang suka menyakiti. Egois. Keras kepala. Pencemburu.”
“Kau yang tak pernah menuruti kata-kataku.”
“Siapa bilang? Dalam hidup aku pun punya prinsip yang kuanut.”
“Sehingga pikiran kita berbeda. Kerap tak sejalan.”
“Sudahlah. Aku lelah dengan teori-teorimu yang kuno.”
“Kau memang tipe orang yang tak mau menerima pendapat orang lain.”
“Nah, benerkan, setiap kita bertemu, berbicara, ujungnya bertikai.”
“Kau yang menyulutnya.”
“Kau pemantik api!”
***
Pertengkaran-pertengkaran kecil seperti api yang bisa membakar. Padahal dulu saat pacaran pertengkaran kecil menghiasi hubungan mereka, dan mereka menganggapnya angin lalu.
“Mengapa terlambat jemput?” omel Mai.
“Jalanan macet, Sayang,” rayu Damara.
“Kan bisa lewat jalan tikus?”
“Jalan tikus dipagarin penduduk kampung. Enggak bisa lewat, Sayang.”
“Kau suka menyerah.”
“Lain kali aku menjemputmu lebih awal supaya tak terjebak kemacetan, dan telat menjemput.”
“Nah gitu, kau bisa berpikir cemerlang.”
Ia menepati janji untuk tak mengulang. Namun bukan berarti hubungan mereka tak beraral lagi. Kali ini tentang hobi mereka yang berseberangan
“Mengapa sih suka baca novel? Apa asiknya duduk berjam-jam, Cuma baca doang?”
“Aku suka. Aku bisa merasakan pengalaman yang dirasakan tokoh. Aku bisa ikut tersenyum saat mereka senang. Aku pun ikut sedih, bahkan nangis saat mereka terluka.”
“Mereka menipumu?’
“Apa maksudmu?’
“Tentu, penulis-penulis bodoh yang bisanya hanya mengkhayal. Mencipta tokoh seenak udel. Mereka membayangkan pengalaman yang omdo?”
“Aduh, jangan ngawur. Novel atau fiksi bukan khayalan aja. Mereka juga ngelakuin observasi, riset, penelitian.”
“Sama aja. Fiksi itu artinnya majinasi. Jadi karya novel ya hasil imajinasi. Khayalan. Lamunan. Sesuatu yang tak bermanfaat.”
“Terserah kau. Membaca cerpen dan novel membuatku bahagia.”
***
Satu-dua tahun usia penikahan adalah masa penuh madu. Namun setelah melewati tahun-tahun dalam kebersamaan, mengapa kerikil menghadang titian perkawinan mereka. Percikan api semakin membesar, menyulut. Kecemburuan menjadi pemantik
“Mengapa kau mengantar perempuan itu. Siapa dia?” selidik Mai.
“Dia anak buahku, “ jelas Damara. “Tak lebih. Tak ada yang jemput. Kebetulan satu arah, Nebeng.”
“Biar saja ia pulang sampai ada yang jemput.”
“Ia perempuan. Aku kasihan padanya.”
“Kasihan. Lama-lama bisa cinta. Modus kuno.”
“Percayalah. Tak ada perempuan lain di hatiku selain kamu.”
“Buktikan dengan perbuatan, bukan barisan kata-kata. Sekali lagi kau mengantar perempuan, itu artinya kau mendustai, mengkhianatiku!”
***
Percikan kecil terpicu karena kebiasaan kecil yang kadang dianggap hal sepele, padahal kenyataannya, hal prinsipil kadang sumber pertikaian yang membuat hati luka.
“Mengapa sih kalau mijit odol dari belakang?!” omel Mai.
“Emang kalau mijitnya dari depan, masalah?” gumam Damara.
“Iya, odol cepet abis.”
“Kata siapa. Odol mau dipijit dari depan belakang, hasilnya ama aja. Odor keluar, dipakai buat sikat gigi dan abis. Itu masalahnya.”
“Masalahnya kau tak pernah mengerti yang kukatakan.”
“Udah ah, masalah kecil itu gak usah diributin.”
“Ini juga, mengapa sehabis mandi membiarkan handuk bertebaran di lantai kamar…”
“Terburu-buru, dan…”
“Setiap setiap selesai mandi mengulang kelakuan buruk.”
“Apa susahnya sih mengembalikan handuk ke jemuran.”
“Bukan susah atau tak, tapi kebiasaan jelek jangan dipelihara dong.”
“….”
“Kebiasaan buruk, kebiasaan jelek, boleh dilakukan sebelum menikah. Kuharap setelah menikah kau berubah, memberi contoh baik pada anak-anak kita.”
“Ya.”
***
Percikan-percikan api terkadang tanpa sengaja disulut, atas nama cinta. Meski pada kenyataannya serupa belenggu yang membuat langkah kaki terpaku.
“Mau pergi ke mana? Ke acara reuni tak bermutu itu?” cemooh Mai.
“Mereka teman-temanku.” Damara bersikeras.
“Teman-teman apa, teman fase masa lalumu.”
“Apa maksudmu?”
“Iya, dalam hidup ini kita memiliki teman dalam fase-fase tertentu. Ketika fase itu lewat, ya, udah, biarkan lewat.”
“Aku tak mengerti jalan pikiranmu. Bagiku teman tetap teman. Meski ia tema masa kecilku, lama tak sua, ketika ada undangan berarti mereka masih temanku juga.”
“Tak ada manfaatnya ketemu sama teman masa lalu. Paling apa sih yang diobrolin. Kenangan kekonyolanmu di masa lalu?”
“Enak aja. Kupunya banyak kenangan indah di masa kecil. Dengan teman-teman di esde yang kujalani di lima kota. Kota Magelang, Jakarta, Semarang, Aceh, Banjarmasin. Karena ayahku yang seorang tentara sering dipindahtugaskan di berbagai tempat.”
“Dan kau bangga karena sering pindah sekolah, hingga sering tak naik kelas, mengulang sekolah. Aneh.”
“Hei, aku bangga karena temanku banyak. Kami bertemu kembali setelah ada facebook. Mengenang peristiwa yang telah terjadi. Karena ada kesempatan, kini ingin bertemu, kopi darat.”
“Ngapain? Pokoknya aku tak suka kamu menjalin dengan teman fase-fase masa lalumu!”
“Bilang aja kau cemburu.”
“Kalau iya, kau mau apa?! Kau bukan hidup di masa lalu. Kau hidup di fase sekarang, bersamaku! Camkan itu!”
***
Percikan api membakar relung hati. Ia sudah berulangkali mencoba mendamaikan hati, meski hasilnya mengenaskan.
“Apa yang kau pikirkan?” Mai menebak.
“Dirimu,” keluh Damara.
“Ada apa dengan diriku?”
“Kau sudah banyak berubah. Kau…”
“Apa yang berubah?”
“Kau tak mengurusi lagi. Tak membuatkanku kopi, tak menyiapkan piyama, tak menyiapkan celana dalamku.”
“Kupikir kau sudah bisa melakukannya sendiri. Kita sudah menikah lima tahun. Aku lelah mengurus anak-anak.”
“Ya. Tapi itu bukan alasan kau tak memerhatikanku.”
“Ah, lelaki memang maunya menang sendiri, kolokan, maunya manja mulu.”
“Aku suamimu, mengertilah.”
“Aku istrimu, mengertilah kau pula. Aku kerja, kemudian mengurusi pekerjaan rumah, mengurusi anak-anak. Kau pikir tak capek?”
***
Percikan api semakin membakar tirai perkawinan. Mungkin tirai sudah terbakar, dan harus membeli tirai yang baru. Untuk hiasan di rumah mereka?
“Kita benar-benar bercerai?” gamang Mai.
“Lebih baik bercerai demi kebahagian kita,” Damara mengerjapkan mata.
“Kau tak cinta lagi padaku?”
“Aku tak ingin menyakitimu lagi.”
“Keinginanmu telah menyakiti hatiku.”
“Kulakukan juga atas nama cinta kita. Kau dan anak-anak. Kupikir cinta memang kadang tak harus bersama.”
“Aku menyayangi kau dan anak-anak.”
“Tentu. Selamanya mereka anak-anak kita. Datanglah setiap saat bila kau merindukan.”
“Hubungan kita selanjutnya.”
“Terserah keputusan Allah, apakah kita masih bisa menyatukan hati untuk perkawinan. Jika pun berpisah, aku ingin kita berpisah dalam damai.” ***