Puisi-puisi Tjak S Parlan (Padang Ekspres, 11 Februari 2018)

Fragmen Prahoto
1)
Pukul tujuh pagi –dalam beku bediding itu—
ia lesap ke dalam lambung prahoto.
Bau meriah handbodhy, harum tipis pupur,
lembab dada dan ketiak perempuan-perempuan tetangga,
membekap daya ciumnya yang belum genap umur.
Apa daya ia terdesak, ia mendesak-desak di antaranya,
mencari ibunya.
Ibu di sini, kami semua pergi ke pabrik kopi.”
2)
Prahoto merayap di jalanan berbatu, dalam kepungan
hutan kopi itu.
Tapi matanya hanya bisa menatap hijau kukuh
daun-daun nyiur, juga gerumbul-gerumbul awan
di langit yang jauh.
Tapi matanya tak bisa menggambarkan
masa depan.
Sampai di sebuah
tikungan, seorang laki-laki bertangan kekar membuka
pintu bak prahoto dan mengangkat tubuhnya.
“Pergilah, laki-laki kecil yang sendirian. Sudah sampai.”
Lalu ibunya, “Pergilah, sekolah yang jauh. Ibu di sini.”
3)
Ia datang. Tiga puluh dua tahun kemudian. Lebih tua
dari harapannya.
Sebuah bus: janji-janji bupati terpilih, angkutan desa
satu-satunya yang sumuk, merayap di jalanan bengkak
dan berbatu. Tak ada hutan kopi, pabrik kopi masih
berdiri – puing-puing yang angker dan bisu, dan sia-sia.
4)
Jalanan dikepung ladang tebu, yang meranggas,
kian memanas.
“Mereka bangkrut,” bisik seseorang di sampingnya.
“Jalan tak jadi diperbaiki. Gagal panen berkali-kali.”
Lalu – seperti di lambung prahoto itu –
ia bisa mencium bau meriah yang dulu. Lalu
di tikungan, jauh sebelum sampai di rumah ibu,
ia membuka jendela bus, ia mencari ingatan:
ia tak menemukan hijau kukuh daun-daun nyiur,
di langit yang jauh hanya ada gerumbul-gerumbul awan,
ia masih mencari-cari masa depan.
Pagesangan, 18 Maret 2017
Fragmen Karet
Tubuhmu yang luka, telah mengucurkan
nasib baik yang ditampung ibu
dari waktu ke waktu.
Aku yang rawan,
tak bisa menampung apa-apa
selain ingatan:
tentang ibu yang kerap menyalakan suluh bambu
dan melintasi subuh buta untuk melukai
tubuhmu,
tentang ibu yang menampung nasibku.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Fragmen Kopi
Ada yang kerap melintas di dapur keluarga.
Sembunyi-sembunyi, mencuri aroma
kopi sangrai. Ada yang mencuri
sarapan pagi pada buah pikirmu:
“Ini buah adalah hadiah,
buah dari kebaikan seekor luwak,
untuk yang berkenan singgah,
kelak”
Tapi batang-batang telah ditebang. Batangbatang
yang tetap tabah. Batang-batang tua
yang tak kunjung membuahkan laba.
Ada yang kerap melintas di halaman rumah.
Mengibaskan wangi musim bunga
menjelang panen raya. Ada yang membenturkanmu pada
ingatan warna kebun—hijau dan putih yang itu.
Tapi batang-batang telah ditebang,
dan ibu harus tabah mencari pekerjaan baru
di ladang tebu.
Di ladang tebu, ibu menampung nasibmu.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Fragmen Kakao
Selepas kelas, ia terbayang sebuah rumah
yang belum menyediakan apa-apa.
Ibu bekerja, dan nenek—seperti adegan sebelumnya—
baru saja memarut kelapa. Maka, antara dirinya
dan makan siang hanya ada jarak yang kian membentang.
Tapi di jalan ia tahu segalanya, bahwa selepas pos jaga
tak ada apapun yang perlu ditakutkan. Cabang-cabang
kakau akan menghilangkan risau. Cabang-cabang telah
berbuah melimpah, serupa hidayah yang siap ditampung
dalam perutnya.
Ia mengambil sedikit untuk perutnya yang terus meratap.
Ia tak merampas apa-apa dari tanah ini. Kelak—
dengan bahasanya yang tetap lugu— ia tahu, korporasi
telah mengambil begitu banyak sejak usianya dini.
Selepas kakau, tumbuh batang-batang tebu,
batang-batang nasib yang diciptakan rezim baru.
Kali itu, ia telah menyelesaikan semua kelasnya.
Ia segera sibuk mencari kerja sampai ia lupa
bahwa ibu sudah tidak bekerja di ladang itu.
Ibu ingin memiliki rumah dan ia hanya bisa membayangkan,
mungkin di sebuah hari yang baik, ia akan mengirimkan
sepotong kue cokelat ke rumah ibu:
rumah yang memunggungi kebun kakao itu.
Pagesangan, 4 Maret 2017
Tjak S. Parlan Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya sudah disiarkan di sejumlah media, antara lain Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Solopos, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Radar Surabaya, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Femina, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Suara NTB, Lombok Post, Bali Post dan lain-lain. Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.