Cerpen Muna Masyari (Kompas, 17 September 2017)

Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan.
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu.
***
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal, keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga.
Sebagai cerpen terbaik kompas, ini terlalu begitu. Si narator tokoh sampingan tapi kok mendetail sekali. Ia tahu apa yang dirasakan tokoh juga yang terjadi di dalam rumahnya. Dari segi kebahasaan juga biasa saja. Yang cukup menyenangkan paling: “kecemasan kian membelukar di matamu.”
Barangkali memang betul, Muna berhasil memotret permasalahan sosial kedaerahan. Dengan predikat “generasi termuda” di antara nomine lainnya itu hal yang cukup bisa ia banggakan. Dan sebagai pembaca kita juga tahu kalau permasalahan yang ia potret itu klise sekali.
LikeLike
Pembaca sastra kian hari kian tahun kian bulan kian minggu kian hari kian jam kian menit kian detik semakin melek sastra atau prosa (maksud di sini, cerpen), pelebelan cerpen terbaik (apalagi kompas, yang selalu konsisten memberikan ruang apresiatif bagi penulis cerita pendek, sastrawan, penulis– entahlah dengan segala jenis penyebutannya) tidak bisa dihindari dan mau tidak mau akan menjadi representasi mutu dan kualitas dan bahkan mewakili cerpen-cerpen kompas lainnya dalam skala “terbaik.” Hal ini akan menjadi semacam pertaruhan “wajah” cerpen kompas di kemudian-kemudian hari akan seperti apa, ‘bila’ indikator cerpen terbaik seperti Kasur Tanah ini, semoga saja kekecewaan pembaca (yang selalu berusaha gigih menjadi bagian dalam paragraf awal) hanya berakhir pada kolom komentar saya ini.
LikeLike
Mbak Muna salah satu cerpenis perempuan yang khas dalam bergaya bahasa di setiap karyanya. Yg lain mungkin mbak Yetti. Layak menjadi pemenang…
LikeLike
Yg jd tukang cerita itu narator ya? Pantasan bingung bacanya. Coba tdk usah pake narator. Lebih bagus lebih sederhana lebih memikat.
LikeLiked by 1 person
MENGAPA “KASUR TANAH” SEBAIKNYA TIDAK DIJADIKAN CERPEN KANONIK
Seakan tidak percaya si tokoh utama bisa menuturkan kisahnya sendiri, si narator, dalam cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari, mengambil alih peran itu, menceritakan kepada kita—sebenarnya kepada si tokoh utama itu sendiri—beberapa hal yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan si tokoh utama—juga ibunya. Di sini ia—si narator—tampil sebagai sosok yang serbatahu. Dan ia dengan percaya dirinya menghadirkan kepada kita adegan-adegan di mana ia tidak ada, namun dari apa yang tergambar kita beroleh kesan bahwa si narator tahu betul apa-apa saja persisnya yang terjadi pada si tokoh utama saat adegan-adegan tersebut berlangsung—baik yang terlihat maupun tidak. Ini menjadi persoalan ketika, pada titik tertentu, si narator membocorkan informasi penting mengenai dirinya, bahwa ia rupanya salah satu tokoh dalam cerita, bukan sosok di luar cerita. Dengan sendirinya keserbatahuannya itu jadi dipertanyakan. Ia, misalnya, bisa sebegitu yakinnya menggambarkan apa-apa yang berkecamuk di benak si tokoh utama, bahkan sanggup mereka-ulang percakapan intim antara si tokoh utama dengan ibunya, padahal kita sebagai pembaca tidak mendapati keterangan apa pun yang menyatakan bahwa si narator ini adalah sosok yang relatif dekat dengan si tokoh utama. Ada memang kalimat-kalimat yang berusaha mengarahkan kita pada pemahaman bahwa si narator ini memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ibunya si tokoh utama, namun itu tidak lantas berarti ia pun cukup dekat dengan si tokoh utama. (Lagipula kedekatan antara si narator dengan ibunya si tokoh utama ini tidak dielaborasi dan karenanya tidak meyakinkan.) Ia, si narator ini, hanyalah sosok yang terhubung dengan guru mengaji si tokoh utama, yang kelak menikahi si tokoh utama, dan kita tidak mendapati keberirisan yang nyata antara kisah hidupnya dengan kisah hidup si tokoh utama. Sejatinya, ini menunjukkan betapa tipis dan jauhnya kedekatan antara si tokoh utama dengan si narator. Relasi yang terbangun di antara mereka berdua tidaklah cukup kuat untuk menopang keserbatahuan si narator juga apa-apa yang dituturkannya tentang si tokoh utama.
Bandingkan, misalnya, dengan si narator dalam cerpen Dias Novita Wuri, “Teman Kami”. Di cerpen ini pun si narator adalah sosok serbatahu yang dengan percaya dirinya mendeskripsikan hal-hal tentang si tokoh utama, bahkan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi lagi, dan ia pun adalah sosok di dalam cerita. Satu tipe dengan si narator di cerpennya Masyari tadi. Bedanya, si narator di cerpennya Wuri ini, yang menyebut dirinya dengan “kami”, adalah sosok(-sosok) gaib, semacam hantu, atau jin, yang telah mengikuti kehidupan si tokoh utama—dari dekat—selama puluhan tahun, sehingga keserbatahuannya kemudian sangat bisa diterima; sama sekali tidak ada masalah kalaupun ia—atau mereka—dengan begitu percaya diri dan ambisiusnya memunculkan adegan-adegan terkait si tokoh utama, sebab ia—atau mereka—memang ada di sana, bersama si tokoh utama. Di titik ini, agaknya, kita mulai curiga: jangan-jangan, si narator di cerpennya Masyari tadi adalah seorang pembual.
Tentu saja di dalam fiksi memunculkan sesosok narator yang adalah seorang pembual bukan hal yang “haram”, selama kita, sebagai pembaca, berhasil dibuat larut oleh bualan-bualannya itu, terbuai oleh kebohongan-kebohongannya itu, sehingga kita, kendatipun pada akhirnya menyadari bahwa informasi-informasi atau deskripsi-deskripsi yang ditawarkannya itu tidak akurat, akan relatif sulit menemukan di titik mana saja sebenarnya ia menipu kita, bagian mana saja persisnya yang bualan dan bagian mana saja yang bukan. Sesuatu semacam ini kita dapati, misalnya, dalam novelnya Kirino Natsuo, Grotesque. Di dalam novel muram-kelam ini Kirino menghadirkan setidaknya tiga sosok narator, yang masing-masing menuturkan kisah hidupnya sendiri, namun dalam beberapa titik saling bersinggungan satu sama lain, dan ternyatalah dalam sejumlah hal titik-titik persinggungan itu tampil dalam wujud yang berbeda, yang relatif berbeda, yang berpotensi membawa kita pada pemahaman dan pemaknaan yang berbeda atasnya—sekaligus mendorong kita untuk melihat hal-hal tersebut lebih sebagai pengalaman-subjektif daripada pengalaman-objektif. Masing-masing narator dalam novelnya Kirino ini sangat piawai bercerita, dan mereka hadir dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Yang mana si pembual, tokoh mana yang paling bisa dipercaya penuturannya, relatif sulit dipastikan. Ini tentu bisa terjadi karena kisah hidup dari tiap-tiap narator sangat bisa diterima, dalam arti sepenuhnya masuk akal. Kisah hidup si tokoh utama yang disajikan si narator di cerpennya Masyari tadi, sementara itu, sulit sekali untuk bisa dikatakan masuk akal.
Akan jauh lebih baik saya kira jika si narator dalam cerpennya Masyari tersebut memberitahu kita—atau si tokoh utama—bahwa ia sesungguhnya hanya meraba-raba saja, bahwa sebagian besar dari apa yang dituturkannya tentang si tokoh utama hanyalah bayangannya semata, hanya sesuatu yang menurutnya mungkin terjadi dan ia tak bisa memastikan tingkat akurasinya. Apologia semacam ini penting dan akan memberi dampak yang signifikan terhadap komposisi cerpen, meski tentu harus juga ditopang oleh motif yang kuat dan relevan. Lihat, misalnya, cerpen saya yang berjudul “Kematian Takeda Erika dan Ogata Yuko”. Di cerpen ini si narator, setelah menceritakan kisah hidup Takeda Erika menjelang kematiannya, berkata: “Dan sekarang, ketika memikirkannya, aku merasa aneh, mendapati diriku menceritakan apa-apa yang mungkin dialami Takeda Erika menjelang kematiannya. Aku tiba-tiba menyesal tak pernah benar-benar mengenalnya; bahkan tak pernah berusaha mengenalnya.” Si narator mengoreksi apa-apa yang telah dituturkannya. Dan ia pun, setelahnya, memberi tahu kita motif di balik apa yang telah coba dilakukannya itu: Takeda Erika telah mati, dan ia menyesal karena tak pernah benar-benar (berusaha) mengenalnya. Dan dari apa-apa yang dituturkannya sebelumnya di sepanjang cerita kita pun mendapati bahwa motif tersebut masuk akal, mengigat si narator pernah beberapa kali bekerja sama secara intens dengan Takeda Erika, di mana hal ini dihadirkan secara konkret—lewat peristiwa. Sesuatu semacam ini yang kiranya krusial bagi cerita justru tidak kita temukan di cerpennya Masyari tadi. Kita memang mendapati bahwa ibu si tokoh utama meninggal dunia dan tepat pada hari itu, sesuai wasiat si orang mati, pernikahan si tokoh utama dilangsungkan, dan ini mungkin mendorong si narator untuk bercerita tentang kisah hidup si tokoh utama. Tetapi, sekali lagi, tidak ada motif yang cukup kuat untuk menopangnya. Tidak ada keterangan—ataupun peristiwa—yang menunjukkan betapa si narator dan si tokoh utama pernah beberapa kali berinteraksi secara intens.
___
Selain terkesan tidak percaya si tokoh utama bisa menuturkan kisah hidupnya sendiri, si narator dalam “Kasur Tanah” pun seakan tidak percaya apa-apa yang coba dikemukakannya akan bisa ditangkap oleh kita, orang-orang yang membaca cerpen tersebut, apabila tidak disajikan secara terang-benderang—untuk tidak menyebut tembus pandang. Ini terlihat dari pilihannya, di mana ia lebih memilih mengelaborasi dialog (antara si tokoh utama dan ibunya) alih-alih peristiwa, di mana dialog yang dihadirkannya ini pun kentara sekali difungsikan sebagai penyampai informasi—bukan sebuah teritori. (Bandingkan, misalnya, dengan dialog-dialog di cerpen-cerpen Hemingway atau Murakami, di mana dialog-dialog tersebut menciptakan sebuah teritori atau ruang-untuk-dialami, dan dengan mengalami itulah informasi itu kemudian kita peroleh, dengan cara kita sendiri.) Kesan ini bahkan sudah terasa ketika dialog dibuka: si tokoh utama, bertanya kepada ibunya apa kegunaan “kasur tanah”. Dan mengikuti dialog ibu-anak ini kita jadi yakin betul bahwa yang berusaha ditawarkan si narator kepada kita memang informasi—bukan teritori. Lambat-laun kita pun sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, di mata si narator, yang utama adalah hasil (informasi), bukan proses untuk memperoleh hasil tersebut; bahkan proses bisa benar-benar diabaikan selama informasi itu tersampaikan, sepenuhnya tersampaikan. Didaktis, dengan kata lain. Dan ini sungguh disayangkan mengingat sastra semestinya mendorong kita untuk berpikir kritis, untuk menganalisis, untuk menyelami proses dan kelak meraih hasil dengan cara kita sendiri. Akan sedikit berbeda memang jika kedidaktisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menutupi sesuatu mendalam yang tersembunyi di baliknya. Semacam tipuan, katakanlah. Atau latar. Namun upaya ke arah sana tidak terlihat. Di cerpennya Masyari tersebut, yang jelas kita rasakan adalah ambisi si narator untuk menyampaikan informasi. Dan ambisi ini agaknya terlalu kuat. Sedikit terlalu kuat.
___
Persoalan narator ini cukup mengganggu upaya kita dalam menikmati cerita, sebab ia membuat si cerita tidak sepenuhnya bisa kita terima; ia, apa yang tersaji ke hadapan kita itu, bukanlah sebuah cerita yang masuk akal dan bisa dipercaya, dengan kata lain. Dan memosisikan diri kita lebih dekat lagi dengan si cerita semakin menguatkan kesan tersebut. Dialog tadi, misalnya. Dengan mengikutinya kita mestilah bertanya-tanya seberapa bergantungnya sesungguhnya si tokoh utama ini kepada ibunya, sampai-sampai sekadar untuk mencari tahu apa kegunaan sortana (kasur tanah) saja ia perlu menanyakan itu kepada ibunya, dan kita tahu sendiri di sepanjang dialog ibu-anak itu berlangsung informasi seperti hanya mengalir ke satu arah, dengan si tokoh utama sebagai sosok penerima. Ini relatif sulit dipercaya karena si narator dengan segera memberi bocoran bahwa si tokoh utama begitu penasaran akan informasi itu. Jika memang benar begitu, mestilah, sedikit-banyak ia tergerak untuk mencari tahu terlebih dahulu—lewat googling, misalnya—sehingga ketika dialog ibu-anak itu berlangsung ia tidak tampil sebagai sekadar sosok penerima informasi; ia mungkin bisa mengoreksi atau mengelaborasi satu-dua hal terkait informasi itu. Jika ini dilakukan si tokoh utama, maka sangat mungkin dialog tadi itu tidak akan terkesan didaktis, dan itu baik bagi kita si pembaca, juga baik bagi cerita. Namun si tokoh utama tidak melakukannya. Ia dikisahkan tidak melakukannya. Bahkan, ia pun digambarkan sebagai sosok yang terisolasi, dalam arti ia seperti tidak memiliki seorang teman pun yang bisa diajaknya bicara mengenai hal-hal tadi itu. Tidakkah ini konyol? Tidakkah ini terlampau dipaksakan? Saya kira begitu. Bahkan kalaupun si narator memberi keterangan bahwa si tokoh utama dibesarkan sebagai sosok yang antisosial atau semacamnya, kita tetap akan mempertimbangkan relasi-relasi yang mungkin terbangun antara dirinya dengan hal-hal yang ada di sekitarnya. Ia, bagaimanapun, adalah dasein. Ia tidak hidup dalam ruang hampa dan tidak mungkin menolak sepenuhnya apa-apa yang mendekat padanya dan mencoba memengaruhinya. Di luar itu semua, di sepanjang cerita, si narator tidak membubuhkan latar yang mampu menopang hal tersebut. Bisa dibilang ia tidak benar-benar peduli pada (kisah hidup) si tokoh utama. Ia bisa jadi hanya peduli pada (kisah hidup) si tokoh utama yang terbayang di dalam benaknya saja.
___
Adanya ketidakberesan narator ini sungguh disayangkan mengingat persoalan sosial yang coba diangkat di cerita sebenarnya cukup menarik. Sesosok perempuan, dalam relasinya dengan masyarakat, dengan sistem di mana ia hidup, seringkali berada pada posisi subaltern. Ia tidak dominan, bahkan terlampau tidak dominan, dan ia tidak berdaya atau tak memiliki cukup kekuatan untuk mengubah hal ini, untuk memperbaiki posisinya di masyarakat; ia terlampau bergantung kepada sosok-sosok lain, sosok-sosok yang memiliki posisi dan kekuatan yang jauh di atasnya dan biasanya laki-laki, untuk memperbaiki posisinya itu. Dengan kata lain, sesosok perempuan dalam sebuah masyarakat patriarkal seperti didesain untuk menyerahkan nasibnya, masa depannya, jalan hidupnya, kepada masyarakat itu. Ia hidup, ada, sekadar untuk melengkapi masyarakat tersebut, menjadi bagian dari masyarakat, diri yang resesif di dalam sebuah masyarakat, dan untuk itu ia seringkali harus kehilangan dirinya sendiri; ia hadir tidak lagi sebagai dirinya tetapi sebagai dirinya-yang-telah-didefinisikan-oleh-masyarakat. Itu tergambar jelas dari karakterisasi si tokoh utama, juga (sebagian) kisah hidupnya. Dan pilihan si narator dalam mengelaborasi wujud fisik para tokoh perempuannya (wajah cantik) dan tidak para tokoh laki-lakinya semakin menguatkan posisi si tokoh utama sebagai subaltern, bahwa ia bahkan terjebak juga pada objektivikasi yang sejatinya tidak benar-benar menguntungkannya, dan ia, oleh si narator, seperti tak diberi ruang untuk menolak atau sekadar mengeluhkan objektivikasi ini, untuk membantah apa-apa yang dilabelkan si narator (laki-laki?) kepadanya.
Menariknya adalah, apabila kita mencermati relasi si tokoh utama dengan ibunya, situasi seperti itu jugalah yang kita dapati. Meskipun keduanya sama-sama perempuan, jelas sekali betapa dominan posisi si ibu, betapa tak terbantahkan pemaknaan-pemaknaannya atas relasi mereka berdua, betapa di matanya si tokoh utama tak lebih dari sosok yang ia definisikan—seorang perempuan dalam sebuah masyarakat patriarkal. Si ibu mengutarakan keinginannya agar si tokoh utama menikah sebelum ia meninggal dunia. Itu salah satu buktinya. Di sini, keinginan si tokoh utama sebagai sosok subaltern sama sekali tak penting, sama sekali tak perlu digubris bahkan tak perlu dikemukakan; si ibu sebagai sosok dominan yang patriarkal telah mendefinisikan si tokoh utama dan itu cukup, dinilai cukup. Perhatikan bahwa aliran informasi searah dalam dialog mereka berdua pun mendukung hal tersebut. Si tokoh utama memang diberi ruang untuk bertanya, untuk memulai dialog, namun selalu si ibu yang menutup dan mengunci pertanyaan-pertanyaan si tokoh utama. Tak pernah sebaliknya.
Pertanyaannya kemudian adalah kenapa relasi mereka pun seperti itu. Jawabannya, setidaknya ada dua.
Pertama, mereka hidup dalam sebuah masyarakat yang patriarkal. Senantiasa berada di dalam masyarakat seperti itu, dengan sendirinya, tanpa mereka sadari, mereka pun cenderung berpikir sebagai seorang patriarkal, sebagai seorang perempuan patriarkal; dan ketika mereka mencoba melakukan sesuatu untuk memperbaiki posisinya itu, sangat mungkin, itu pun sesungguhnya masihlah sesuatu yang patriarkal. Lihat, misalnya, bentuk perlawanan si tokoh utama terhadap ibunya. Ia mengutarakan rencananya untuk menikah dengan seorang lelaki yang umurnya jauh di atasnya, yang ternyata adalah ayah biologisnya sendiri. Si narator tidak memberi keterangan bahwa si tokoh utama mengendus fakta mengejutkan itu sehingga bukan itu yang akan dibahas di sini. Yang akan dibahas adalah selisih usia yang jauh di antara si tokoh utama dengan pasangannya. Sebelumnya, sebelum si tokoh utama mengatakan siapa persisnya lelaki yang akan menikahinya, si ibu digambarkan tidak nyaman mendapati si tokoh utama, anak semata wayangnya itu, akan menikah dengan seorang lelaki yang usianya jauh di atasnya. Keinginan si tokoh utama ini haruslah kita lihat sebagai upaya si tokoh utama mendefinisikan dirinya sendiri; sebentuk perlawanan dalam upayanya untuk beranjak dari posisi subaltern. Namun, jika kita mencermatinya, sesungguhnyalah perlawanan tersebut masih berada di dalam lingkup yang itu-itu juga, dalam arti tidak akan secara signifikan memperbaiki posisinya di dalam sebuah masyarakat yang patriarkal. Ia, masih akan sosok subaltern; yang dominan dan kelak mendefinisikannya adalah pasangannya, calon suaminya yang usianya jauh di atasnya itu, ayah biologisnya sendiri. Penting juga untuk dicatat di sini bahwa si lelaki pastilah tahu bahwa ia adalah ayah biologis si tokoh utama, yang semakin menegaskan betapa masih resesif dan tak berdayanya si tokoh utama, atau tepatnya betapa si tokoh utama tak menyadari bahwa ia masih resesif dan tak berdaya. Dan si tokoh utama, setidaknya dari apa yang tergambar di cerita, seperti tidak menyadari hal ini. Benar-benar tidak menyadarinya.
Kedua, bisa jadi karena si narator adalah sesosok laki-laki, lebih tepatnya sesosok laki-laki patriarkal. Sekali lagi harus kita ingat bahwa (kisah hidup) si tokoh utama yang tersaji ke hadapan kita adalah (kisah hidup) si tokoh utama yang terbayang di benak si narator; ialah yang mendefinisikan si tokoh utama, dan sosok si tokoh utama seperti itulah yang kita lahap. Hal yang sama berlaku untuk ibu si tokoh utama. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila para perempuan dalam “Kasur Tanah” terkesan berpikir sebagai seorang perempuan patriarkal. Dan tidak mengherankan pula apabila semacam solusi yang coba ditawarkan menjelang cerita berakhir pun masihlah sesuatu yang patriarkal. Sesuai wasiat si ibu, si tokoh utama melangsungkan pernikahan, dengan ayah biologisnya sendiri, di hari si ibu meninggal dunia. Tidak digambarkan memang apakah si tokoh utama menikmati momen ini atau tidak. Yang jelas, ia patuh pada “perintah” si ibu, kendatipun “perintah” itu tidak secara langsung tersampaikan padanya. Mengapa ia kali ini tidak melawan? Mengapa ia, si tokoh utama, tidak mencoba menawarkan hari lain untuk pernikahannya itu, sementara kuat sekali kesan yang timbul bahwa ia sangat bersedih atas meninggalnya si ibu? Penjelasannya mungkin sederhana: karena ia tak berdaya; lebih tepatnya, ia merasa tak berdaya, ia menilai dirinya tak berdaya. Seperti inilah sesosok subaltern, sesosok perempuan dalam sebuah masyarakat yang patriarkal. Bahkan ketikapun mereka pada satu titik mencoba mendefinisikan dirinya sendiri, tidak ada jaminan yang berbicara itu adalah diri mereka yang sebenarnya. Senantiasa hidup dalam sebuah masyarakat patriarkal, tak bisa dipungkiri, berpotensi membuat seorang perempuan kehilangan dirinya sendiri, dan tak lagi mampu menemukan dirinya yang sesungguhnya itu.
___
Jika kita hanya fokus membahas persoalan sosial yang coba dikemukakan “Kasur Tanah”, kita mendapati bahwa cerpennya Masyari ini relatif menarik, dan masih sangat kontekstual dengan realitas yang kita jalani saat ini, terutama di kawasan-kawasan tertentu di mana semangat patriarki masih dijunjung tinggi. Namun, pembacaan itu tentu tidak cukup. Melihat “Kasur Tanah” sebagai sebuah karya sastra, berarti melihatnya sebagai sebuah karya seni, dan itu berarti kita dituntut untuk melihat komposisi yang ditawarkannya, untuk kemudian menganalisisnya, dan menilainya. Terkait hal inilah agaknya keliru menjadikan “Kasur Tanah” sebagai sebuah cerpen kanonik. Jika kita memafhumi ketidakberesan komposisi sebuah cerpen hanya karena ia mengangkat sebuah persoalan sosial yang dianggap kontekstual dan krusial, maka kita tak ubahnya seseorang yang melihat sebuah karya seni rupa hanya dari konsep yang melandasinya, gagasan yang muncul di benak si seniman, dan abai, sepenuhnya abai, pada bentuk dan eksekusinya. Ini adalah sikap ekstrem terhadap seni rupa konseptual (conceptual art), yang menjadi persoalan tersendiri di dunia seni rupa beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, bagaimana kita bisa menilai secara komprehensif karya-karya seninya Damien Hirst, sementara ia hanya menawarkan konsep dan menyerahkan, hampir selalu menyerahkan, eksekusi bentuk kepada para asistennya atau para spesialis—karena ia tak bisa melakukannya dengan tangannya sendiri? Hal yang sama saya kira berlaku untuk “Kasur Tanah”. Cerpen Masyari ini dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas untuk tahun 2017, dan itu tak pelak lagi menunjukkan adanya pemafhuman yang begitu tinggi terhadap ketidakmampuan si cerpenis dalam mengeksekusi bentuk, sehingga yang tersaji ke hadapan kita adalah sebuah karya seni yang bermasalah dari segi komposisi—yakni ketidakberesan si narator tadi yang membuat cerita menjadi tidak masuk akal dan sulit diterima, dan tak bisa dipercaya.
Lantas bagaimana kita, sebagai pembaca, menyikapinya? Saya kira jelas: dengan kritis. Tentu yang dimaksud “menyikapinya dengan kritis” di sini adalah mengutarakan pembacaan kita atas cerpen tersebut, menawarkan kepada pembaca-pembaca lain sebuah perspektif dalam melihat cerpen tersebut di mana ketidakberesan komposisi itu terkuak, bisa diketahui—dan dipahami—oleh mereka, dengan harapan kesusastraan kita di tahun-tahun ke depan akan jauh lebih baik—setidaknya tidak lagi begitu permisif terhadap ketidakberesan komposisi hanya karena si cerpen mengangkat isu atau persoalan sosial yang menarik. Dalam hal ini, akan baik saya kira, bahkan bisa jadi penting, apabila para sastrawan ternama atau mereka yang memiliki posisi tawar tinggi di kesusastraan kita, ikut juga melakukan pembacaan yang komprehensif atas cerpennya Masyari itu, dan tentu saja mengutarakannya—mempublikasikannya. Dan agaknya yang lebih penting lagi: kita, sebagai pembaca, mestilah mulai membiasakan diri untuk tidak dibutakan oleh nama besar atau titel, untuk menjaga sikap kritis terhadap terhadap keputusan dewan juri, kurator, redaktur, atau siapa pun itu yang terlibat dalam sebuah upaya kanonisasi. Sebab siapa pun bisa membuat kesalahan. Itu jelas. Dan sebab sastra tidak bergerak di ruang hampa, jelas, ia senantiasa berada dalam tarik-menarik antara dirinya dan hal-hal di luar dirinya. Terkait hal inilah upaya kanonisasi justru bisa berdampak buruk bagi sastra—meski mungkin di saat yang sama berdampak baik bagi sesuatu di luar sastra. Kiranya begitu.(*)
—Bogor, Juli 2018
Ardy Kresna Crenata mengelola komunitas bernama Pembacaan Baru bersama teman-temannya di Bogor.
Keterangan:
– Cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari bisa dinikmati di https://lakonhidup.com/2017/09/17/kasur-tanah/
– Cerpen “Teman Kami” karya Dias Novita Wuri bisa dinikmati di https://lakonhidup.com/2013/07/28/teman-kami/
– Cerpen “Kematian Takeda Erika dan Ogata Yuko” bisa dinikmati di https://lakonhidup.com/2016/05/21/kematian-takeda-erika-dan-oogata-yuko/
LikeLike
Wah, mantap sekali komentar dari mas Ardy Kresna. Salut untuk kritikannya.
LikeLike
ada kejanggalan di cerpen ini… kenapa malaikat Jibril yg dipilih ketika di paragraf ini “Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih, seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian membelukar di matamu.
padahal jelas-jelas tugas malaikat Jibril membawa wahyu.. yang mencabut nyawa itu Izrail. ini menjadi titik cela para juri yang memilih cerpen ini sebagai cerpen terbaik kompas 2017 menurut saya. meskipun fiksi selalu berujung dengan hal fiktif, sangat tidak etis kalau harus melenceng untuk hal-hal yang sudah diketahui banyak orang.
LikeLike
Aku suka idenya….tak terbayangkan….kerrren…
LikeLike